NEWS
Banjir Sumatera Memicu Sorotan Terhadap Kerusakan Lingkungan
Banjir Sumatera Memicu Sorotan Terhadap Kerusakan Lingkungan

Banjir Sumatera Yang Melanda Aceh, Sumatera Barat Dan Sumatera Utara Sejak 24 November 2025 Kembali Menggugah Perhatian Publik. Terhadap rentannya wilayah tersebut terhadap bencana hidrometeorologi. Seruan “Pray for Sumatera” menggema di berbagai platform setelah laporan resmi BNPB menyebut sedikitnya 303 orang meninggal dunia dan lebih dari 200 warga masih belum di temukan. Intensitas hujan yang tinggi, kondisi atmosfer yang tidak stabil. Serta curah hujan ekstrem yang terjadi berhari-hari membuat banyak kawasan pemukiman dan infrastruktur lumpuh total. Arus banjir yang kuat juga mengakibatkan beberapa jembatan terputus, akses jalan terisolasi, serta ribuan warga harus mengungsi ke lokasi aman.
Di tengah proses evakuasi dan penanganan darurat, perhatian masyarakat tersedot pada fenomena banyaknya gelondongan kayu yang terbawa arus banjir hingga mencapai wilayah pesisir. Kayu-kayu besar tersebut teramati di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sebagian kawasan Padang. Mengindikasikan bahwa aliran air membawa material dari hulu dalam jumlah yang tidak wajar. Fenomena ini memunculkan dugaan kuat bahwa selain intensitas hujan ekstrem, ada proses kerusakan lingkungan yang berperan dalam memperburuk bencana. Hilangnya penyangga alami berupa hutan dan tutupan lahan menciptakan kondisi di mana air hujan tidak lagi terserap optimal. Sehingga limpasan permukaan meningkat drastis dan aliran sungai meluap lebih cepat dari biasanya.
Menurut penjelasan Dr. Heri Andreas dari Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, kerusakan hutan di kawasan hulu menjadi salah satu faktor yang memperbesar risiko banjir bandang. Ia menekankan bahwa cuaca ekstrem dan siklon memang memicu intensitas hujan yang tinggi. Namun degradasi lingkungan menyebabkan air tidak memiliki ruang untuk meresap. Kombinasi antara fenomena cuaca ekstrem dan perubahan tata guna lahan inilah yang membuat wilayah Sumatera semakin rentan. Upaya pemulihan pascabencana perlu di barengi pemetaan risiko yang lebih detail agar Banjir Sumatera tidak kembali menelan korban besar.
Banjir Sumatera Di Picu Alih Fungsi Hutan Sawit
Sebuah penelitian yang di publikasikan dalam IOP Science pada Februari 2019 menunjukkan bahwa perubahan bentang alam Indonesia tidak dapat di lepaskan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit. Studi tersebut menelaah penyebab deforestasi tahunan antara 2001 hingga 2016 dengan memanfaatkan data hilangnya tutupan hutan dan citra resolusi tinggi dari Google Earth. Di tengah paparan temuan ilmiah tersebut, isu Banjir Sumatera Di Picu Alih Fungsi Hutan Sawit menjadi relevan karena hilangnya hutan alam berarti hilangnya kemampuan kawasan hulu dalam menahan air hujan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa deforestasi terbesar terjadi di Sumatera, di susul Kalimantan. Yang secara kolektif menyumbang lebih dari 40 persen kehilangan tutupan hutan nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap lanskap hutan di dua pulau tersebut berlangsung sangat intensif selama lebih dari satu dekade.
Para peneliti menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan pendorong utama deforestasi nasional. Bertanggung jawab atas sekitar 23 persen kehilangan tutupan hutan. Angka tersebut di hitung berdasarkan interval keyakinan 90 persen yang berada pada kisaran 18 hingga 25 persen. Menegaskan bahwa kontribusi kelapa sawit terhadap perubahan bentang hutan sangat signifikan. Selain sawit, perkebunan kayu juga tercatat sebagai salah satu penyebab besar deforestasi. Dengan puncak kerusakan terjadi pada periode 2010 hingga 2012. Menjelang akhir 2016, aktivitas perkebunan skala besar lainnya ikut memberikan tekanan tambahan terhadap hutan. Sehingga memperluas area kehilangan vegetasi secara permanen.
Ketika berbagai sektor perkebunan berkembang pesat tanpa pengendalian lingkungan memadai, tekanan terhadap ekosistem hulu pun terus meningkat. Global Forest Watch mencatat bahwa dari tahun 2001 hingga 2024, Indonesia terus mengalami penurunan tutupan pohon yang berkontribusi pada deforestasi jangka panjang. Tutupan pohon yang hilang ini bukan hanya berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga mengurangi kapasitas tanah dalam menahan air.
Presiden Ingin Menambah Penanaman Kelapa Sawit
Pernyataan Presiden dalam forum Musrenbangnas RPJMN pada akhir Desember 2024 kembali memicu diskusi luas mengenai arah pembangunan sektor perkebunan di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan bahwa penambahan perkebunan kelapa sawit di anggap tidak berbahaya dan tetap mampu memberikan manfaat ekologis. Karena pohon sawit juga dapat menyerap karbon dioksida. Namun, pernyataan tersebut langsung menjadi sorotan karena di anggap menyederhanakan kompleksitas fungsi hutan alam yang jauh lebih beragam di bandingkan perkebunan monokultur. Banyak pihak menilai bahwa pendekatan tersebut perlu di kaji ulang agar tidak menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan ekosistem.
Di kalangan akademisi pandangan berbeda muncul secara tegas. Presiden Ingin Menambah Penanaman Kelapa Sawit di nilai sebagai langkah yang berpotensi memicu kerusakan lingkungan apabila tidak di sertai analisis mendalam dan kebijakan pengaman yang kuat. Dekan Fakultas Biologi UGM sekaligus Ketua KOBI, Prof. Budi Setiadi Daryono, menyampaikan penolakannya karena ekspansi sawit akan membuka peluang besar terjadinya degradasi hutan serta hilangnya keanekaragaman hayati. Ia menegaskan bahwa sawit memiliki sistem perakaran dangkal sehingga tidak mampu menahan air hujan secara optimal. Selain itu, pola monokultur sawit meningkatkan risiko konflik antara manusia dan satwa liar. Seperti orang utan, gajah, badak dan harimau Sumatra yang habitatnya semakin terdesak. Pendapat ini menunjukkan bahwa perlu adanya pertimbangan ekologis yang lebih komprehensif sebelum memperluas area perkebunan.
Lebih jauh Prof. Budi mengingatkan pentingnya konsistensi pemerintah dalam menjalankan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 mengenai pelestarian keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan. Ia menjelaskan bahwa regulasi tersebut mampu melindungi lebih dari 66 juta hektare hutan alam. Selain itu lahan gambut luas yang setara dengan wilayah Prancis apabila di terapkan secara disiplin.
Desakan Investigasi
Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaiful Huda, menegaskan perlunya langkah cepat dan terukur dari pemerintah untuk mengungkap faktor penyebab bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Ia menilai bahwa penanganan tidak boleh berhenti pada respons darurat saja, tetapi juga harus mencakup kajian menyeluruh mengenai pemicu bencana. Di tengah seruannya, muncul Desakan Investigasi agar pemerintah menelusuri apakah kejadian tersebut sepenuhnya di picu cuaca ekstrem atau terdapat elemen lain. Seperti kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, atau lemahnya pengawasan tata ruang. Menurutnya kepastian mengenai penyebab utama sangat penting untuk merumuskan kebijakan mitigasi jangka panjang yang lebih efektif bagi masyarakat di wilayah rawan.
Selain menekankan pentingnya evaluasi, ia juga mendorong agar hasil investigasi nantinya di umumkan secara transparan kepada publik. Hal ini di perlukan untuk memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dapat di rancang berdasarkan data yang kuat dan objektif, bukan sekadar asumsi. Ia menilai bahwa pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi dalam memperkuat sistem peringatan dini, memperbaiki penataan ruang. Serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan. Dengan memahami akar masalah secara jelas. Upaya perlindungan masyarakat dapat di lakukan lebih terarah dan mengurangi risiko bencana berulang di masa depan. Maka inilah pembahasan tentang Banjir Sumatera.