NEWS
ESDM Jabar Sudah Peringatkan Galian C Gunung Kuda
ESDM Jabar Sudah Peringatkan Galian C Gunung Kuda

ESDM Jabar sebelum insiden longsor tragis di Gunung Kuda yang merenggut tujuh nyawa pada akhir Mei 2025, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat mengaku sudah memberi peringatan kepada pihak pengelola Galian C di lokasi tersebut. Kepala ESDM Jabar, Deni Sutisna, menyatakan bahwa tim inspektur tambang daerah telah melakukan kunjungan ke area tambang pada awal April 2025 dan menemukan sejumlah potensi pelanggaran teknis serta ancaman keselamatan.
Dalam temuannya, ESDM Jabar mencatat bahwa lereng tambang di kawasan Gunung Kuda tidak sesuai dengan rekomendasi teknis geologi. Kemiringan tebing terlalu curam, sistem drainase air hujan buruk, dan tidak ada alat pemantau pergerakan tanah di lokasi. “Kami sudah sampaikan secara resmi melalui surat peringatan tertulis yang dikirim ke pengelola tambang dan ditembuskan ke kabupaten serta instansi terkait,” ujar Deni dalam keterangan pers di Bandung.
Peringatan tersebut, lanjutnya, mengharuskan pihak perusahaan menurunkan kemiringan lereng maksimal menjadi 45 derajat, menambah sistem pembuangan air permukaan, dan menyiapkan jalur evakuasi darurat. Namun, dari hasil evaluasi pasca-kejadian, tidak ada satupun poin perbaikan yang dijalankan oleh pengelola tambang.
Peringatan ESDM tersebut kini menjadi salah satu dokumen penting dalam proses penyelidikan hukum yang dilakukan kepolisian. Dalam surat peringatan tertanggal 8 April 2025 itu, tercantum juga catatan tentang kurangnya pelatihan keselamatan kerja dan absennya pemetaan ulang zona rawan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang terjadi sebenarnya bisa dicegah jika peringatan tersebut diindahkan.
ESDM Jabar, dengan tragedi ini membuka kembali pertanyaan publik mengenai efektivitas peran pengawasan ESDM daerah terhadap aktivitas pertambangan skala menengah dan kecil. Banyak pihak menilai bahwa lembaga pengawasan sering kali tidak memiliki kewenangan penuh dalam menghentikan aktivitas tambang yang membahayakan. Akibatnya, peringatan sering diabaikan oleh pengelola tambang, terutama yang memiliki koneksi kuat dengan pemilik modal lokal.
Galian C Gunung Kuda: Beroperasi Di Tengah Celah Regulasi
Galian C Gunung Kuda: Beroperasi Di Tengah Celah Regulasi diketahui telah beroperasi selama hampir lima tahun, namun hingga kini status legalitas dan kepatuhan teknisnya masih menjadi sorotan. Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Kabupaten Cirebon, lokasi tambang tersebut memang memiliki izin usaha pertambangan (IUP), namun evaluasi rutin terhadap kinerja teknis tambang dinilai minim dan cenderung bersifat administratif.
Aktivitas tambang Galian C di Gunung Kuda didominasi oleh pengambilan batu kapur dan material tanah urug yang digunakan untuk proyek infrastruktur regional. Proyek-proyek pemerintah, termasuk pembangunan jalan dan perumahan, menjadi pasar utama bahan material dari lokasi tersebut. Hal ini menjadikan tambang tetap beroperasi meski sering mendapat sorotan dari warga dan aktivis lingkungan.
Dalam praktiknya, banyak aturan yang dilanggar oleh pengelola tambang. Salah satunya adalah tidak adanya laporan berkala mengenai kondisi geoteknik lereng dan pengelolaan air permukaan. Seharusnya, dalam kegiatan tambang terbuka, laporan tersebut diserahkan kepada pemerintah secara berkala setiap tiga bulan. Namun, data dari ESDM Jabar menunjukkan bahwa pengelola Galian C Gunung Kuda terakhir menyampaikan laporan resmi pada tahun 2023.
Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Nusantara (Walhi) Jawa Barat menyebut bahwa Galian C Gunung Kuda merupakan contoh dari tambang rakyat yang berubah menjadi industri skala menengah tanpa pengawasan memadai. “Dulu Galian C ini sifatnya kecil, tapi sekarang sudah berubah jadi operasi besar, bahkan ada investor dari luar daerah yang masuk,” kata Koordinator Wilayah Walhi Jabar, Rizky Dwi Pramana.
Karena tidak ada sistem kontrol yang kuat, banyak celah regulasi yang dimanfaatkan oleh pengelola untuk tetap beroperasi. Ketidakjelasan antara wewenang kabupaten dan provinsi dalam mengatur tambang non-mineral logam turut menyumbang pada lemahnya pengawasan. Hal ini membuat tambang terus beroperasi di zona berisiko, termasuk lereng curam seperti di Gunung Kuda.
Warga Sudah Keluhkan Aktivitas Tambang Sejak Lama Menurut ESDM Jabar
Warga Sudah Keluhkan Aktivitas Tambang Sejak Lama Menurut ESDM Jabar, terutama warga Desa Cisaat dan Desa Sukamukti yang berada di lereng bawah gunung. Sejak 2021, warga telah beberapa kali mengadukan dampak aktivitas tambang yang merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan masyarakat.
Keluhan paling sering muncul dari warga yang tinggal di radius kurang dari 500 meter dari area tambang. Mereka mengalami getaran tanah saat alat berat bekerja, polusi debu yang menutupi tanaman dan permukiman, serta kerusakan infrastruktur jalan desa akibat lalu lintas truk pengangkut material. Selain itu, beberapa kali muncul retakan di dinding rumah warga akibat getaran dan aktivitas pengeboran.
Salah seorang warga, Sumiati (52), mengungkapkan bahwa sebelum longsor terjadi, dia dan tetangga sempat melihat tanda-tanda tanah retak di lereng gunung. “Kami sudah lapor ke kepala desa dan minta agar tambang dihentikan dulu karena takut longsor, tapi tidak ada tindak lanjut,” ujarnya. Menurutnya, warga sudah bosan dengan janji-janji pengelola tambang yang hanya muncul saat terjadi masalah.
Pada tahun 2022, warga sempat menggalang petisi menolak perpanjangan izin tambang. Petisi itu sempat dibawa ke DPRD Kabupaten Cirebon, namun tidak membuahkan hasil karena tidak adanya payung hukum yang memungkinkan pencabutan izin atas dasar keluhan warga tanpa bukti teknis. Padahal, saat itu warga telah menyertakan dokumentasi retakan tanah dan debu berlebihan yang berdampak ke sawah mereka.
Kini, warga berharap tragedi ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pertambangan daerah. Mereka mendesak audit total terhadap seluruh izin tambang di wilayah Cirebon dan Jawa Barat, serta pelibatan masyarakat dalam proses evaluasi tambang aktif. “Jangan tunggu ada korban lagi baru bereaksi. Kami yang tinggal di sekitar lokasi tambang selalu hidup dalam ketakutan,” ucap Juhari, tokoh masyarakat setempat.
Perlu Evaluasi Menyeluruh Sistem Perizinan Tambang
Perlu Evaluasi Menyeluruh Sistem Perizinan Tambang kembali menyoroti buruknya sistem perizinan dan pengawasan tambang di tingkat daerah. Meski pengelola Galian C memiliki izin resmi, kenyataan di lapangan menunjukkan. Bahwa izin tersebut tidak diikuti dengan kewajiban teknis dan pengawasan yang memadai. Banyak tambang yang justru beroperasi di luar koridor keselamatan, baik bagi pekerja maupun masyarakat sekitar.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Dr. Erwin Hamzah, menilai bahwa sistem perizinan tambang di Indonesia. Khususnya untuk tambang non-logam seperti Galian C, masih rentan dimanipulasi. “Perizinan sering kali diproses cepat karena tekanan ekonomi daerah. Tapi pengawasan setelah izin keluar sangat minim. Ini lubang besar yang sering dimanfaatkan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa izin tambang seharusnya bersifat dinamis dan dapat. Dicabut jika ditemukan potensi bahaya serius, tanpa harus menunggu audit berkala. Namun, dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah kesulitan mencabut izin karena prosedur birokrasi yang panjang dan konflik kepentingan antara pemangku kebijakan.
Sementara itu, Kementerian ESDM menyatakan akan segera mengevaluasi seluruh IUP Galian C di Jawa Barat menyusul kejadian Gunung Kuda. Evaluasi ini akan mencakup aspek teknis, kepatuhan terhadap standar keselamatan, serta kepatuhan administratif. Jika ditemukan pelanggaran berat, izin dapat dicabut secara permanen.
Di sisi lain, para pengamat menilai perlu adanya integrasi sistem perizinan. Antara kabupaten, provinsi, dan pusat agar pengawasan tidak berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi yang buruk antar lembaga sering kali menyebabkan informasi peringatan tidak ditindaklanjuti dengan tegas. Padahal, keselamatan warga dan pekerja seharusnya menjadi prioritas utama.
Langkah reformasi juga diharapkan datang dari revisi Undang-Undang Minerba, terutama pasal-pasal yang memberikan. Kewenangan penuh kepada daerah dalam mengelola tambang skala kecil tanpa pengawasan vertikal yang kuat. Reformasi ini mendesak untuk menghindari terulangnya tragedi seperti di Gunung Kuda menurut ESDM Jabar.